Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 17 Desember 2016

Tag: , , ,

[PAJAK] PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (WP Bukan Pegawai) DAN PASAL 26

I.       PPH PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BUKAN PEGAWAI

1.1.Pengertian penerimaan penghasilan bukan pegawai
Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi atau seseorang yang bukan merupakan Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap atau dapat disebut dengan Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan atau imbalan berupa honorarium, komisi, fee dan imbalan sejenisnya dari pekerjaannya, jasa atau kegiatan, antara lain meliputi:
    




1.      Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2.      Bukan tenaga ahli antara lain:
a.       Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
b.      Olahragawan
c.       Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
d.      Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
e.       Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
f.       Agen iklan;
g.      Pengawas atau pengelola proyek;
h.      Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
i.        Petugas penjaja barang dagangan;
j.        Petugas dinas luar asuransi;
k.      Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

1.2.Pemotongan PPh pasal 21 bukan pegawai
  1. pemotongan pph pasal 21 untuk tenaga ahli
Definisi Tenaga Ahli
Dalam PPh Pasal 21, yang dimaksud dengan tenaga ahli adalah tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas artinya orang pribadi atau seseorang yang mempunyai keahlian khusus dijadikan sebagai usahanya untuk menerima penghasilan  yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, terdiri dari : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,  notaris,  penilai, dan aktuaris.


1.3.Perhitungan tarif PPh 21
Pada perhitungan pajak pasal 21 untuk tenaga ahli baik berkesinambungan maupun tidak sama-sama tidak menggunakan PTKP. Besarnya pajak terutang pph pasal 21 Perhitungan pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:




1.4.Pemotongan PPh Pasal 21 bagi bukan tenaga ahli
Pemotongan PPh Pasal 21 bagi bukan tenaga ahli terbagi menjadi 2 bagian, yakni :
a.       PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai atas imbalan yang bersifat berkesinambungan.
Maksud dari imbalan kepada bukan pegawai yang sifatnya berkesinambungan adalah imbalan yang dibayarkan kepada bukan pegawai lebih dari satu kali dalam waktu satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau  kegiatan.
Tarif pemotongannya yaitu :
·         Bagi yang memenuhi persyaratan pengurangan PTKP (Pasal 16 ayat (1) huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari Penghasilan Kena Pajak sebesar 50% (lima puluh persen) jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
·         Bagi yang tidak memenuhi persyaratan pengurangan PTKP (Pasal 16 ayat (1) huruf b, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari 50% (lima puluh persen) jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan.

1.5.Persyaratan pengurangan PTKP (Pasal 12, 252/PMK.03/2008)
a.       Telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya;
b.      Harus menyerahkan foto kopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan foto kopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.

Penghasilan Bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik dirumah sakit dan/atau klinik (Pasal 10 ayat (6), PER-31/PJ/2009)
            Dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Mempekerjakan orang lain sebagai pegawai ( Pasal 10 ayat (5) huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
            Besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak /perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.

Melakukan penyerahan material atau barang (Pasal 10 ayat (5) huruf b, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
            Besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan.
Contoh : Winne adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 2 orang anak, bekerja sebagai distributor MLM pada PT Golden Chain, suami Winne telah terdaftar sebagai WP dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Pelangi Antar Nusa. Winne telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Winne hanya memperoleh penghasilan dari kegiantannya sebagai distributor MLM, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT. Golden Chain. Dalam semester pertama tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Winne sebagai distributor MLM dari perusahaan tersebut adalah sebagai berikut :
Januari 2009     Rp 20.000.000,00
Februari 2009   Rp 17.000.000,00
Maret 2009       Rp 23.000.000,00
April 2009        Rp 15.000.000,00
Mei 2009          Rp 25.000.000,00
Juni 2009          Rp 10.000.000,00
Jumlah              Rp 110.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 Untuk bulan Januari s.d Juni 2009 adalah sebagai berikut :

Bulan
Penghasilan Bruto
PTKP sebulan
PKP sebulan
PKP Kumulatif
Tarif Pasal 17 UU PPh
PPh Pasal 21 terutang
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Jan
Rp       20,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp       18,680,000.00
Rp       18,680,000.00
5%
Rp          934,000.00
Feb
Rp       17,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp       15,680,000.00
Rp       34,360,000.00
5%
Rp          784,000.00
Maret
Rp       23,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp       15,640,000.00
Rp       50,000,000.00
5%
Rp          782,000.00
Rp         6,040,000.00
Rp       56,040,000.00
15%
Rp          906,000.00
April
Rp       15,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp       13,680,000.00
Rp       69,720,000.00
15%
Rp       2,052,000.00
Mei
Rp       25,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp       23,680,000.00
Rp       93,400,000.00
15%
Rp       3,552,000.00
Juni
Rp       10,000,000.00
Rp    1,320,000.00
Rp         8,680,000.00
Rp     102,080,000.00
15%
Rp       1,302,000.00
Jumlah
Rp     110,000,000.00
Rp    7,920,000.00
Rp     102,080,000.00
Rp     102,080,000.00
Rp    10,312,000.00

apabila Winne tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Winne sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh diatas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% berdasarkan perhitungan tersebut, yaitu sebagai berikut  :

Bulan
Penghasilan Bruto (Rupiah)
Penghasilan Bruto Kumulatif (Rupiah)
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
Tidak memiliki NPWP
PPh Pasal 21 Terutang (Rupiah)
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]=[2]x[4]x[5]
Jan
Rp       20,000,000.00
Rp       20,000,000.00
5%
120%
Rp       1,200,000.00
Feb
Rp       17,000,000.00
Rp       37,000,000.00
5%
120%
Rp       1,020,000.00
Maret
Rp       13,000,000.00
Rp       50,000,000.00
5%
120%
Rp          780,000.00
Rp       10,000,000.00
Rp       60,000,000.00
15%
120%
Rp       1,800,000.00
April
Rp       15,000,000.00
Rp       75,000,000.00
15%
120%
Rp       2,700,000.00
Mei
Rp       25,000,000.00
Rp     100,000,000.00
15%
120%
Rp       4,500,000.00
Juni
Rp       10,000,000.00
Rp     110,000,000.00
15%
120%
Rp       1,800,000.00
Jumlah
Rp     110,000,000.00
Rp     110,000,000.00
Rp    13,800,000.00

Dalam hal suami Winne atau Winne sendiri telah memiliki NPWP, Namun Winne mempunyai penghasilan lain diluar kegiatannya sebagai distributor MLM, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh diatas , namun tidak dikenakan tariff 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.

PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
Pajak ini dikenakan berlaku bagi WP Pribadi yang mendapat imbalan namun bukan pegawai  dengan karakteristik dibayar atau terutang satu kali dalam satu tahun kalender.

Memperkerjakan orang lain sebagai pegawai (pasal 10 ayat 5 huruf a, PER-31/PJ/2009)
Besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjaan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.

Melakukan penyerahan material atau barang (pasal 10 ayat 5 huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak atau dalam pejanjian tidak dapat dipasahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

Tarif pemotongan (pasal 16 ayat 2 huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Tarif berdasarkan pasal 17 ayat 1 huruf a undang-undang pajak penghasila diterapkan atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan.



Contoh 2:
Daffa Mulyadis  melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT ASSAS dengan fee sebesar Rp 10.000.000,00. Daffa Sarria menggunakan tenaga 3 orang pekerja dengan membayar upah harian masing-masing Rp 150.000,00, upah harian yang dibayarkan untuk 3 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp 3.000.000,00. Selain itu Daffa membeli monitor komputer yang dipakai untuk perbaikan sebesar Rp 500.000,00.
Perhitungan :
Pendapatan yang terkena potongan PPh pasal 21 adalah
Rp 10.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 – Rp 500.000,00 = Rp 6.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x 50% X  Rp 6.500.000,00 = Rp 162.500,00

Dalam hal Daffa Mulyadi tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
120% x 5% x 50% Rp 6.500.000,00 = Rp 195.000,00


II.    PPh Pasal 21 Final
PPh pasal 21 final dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa :
·         Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk pengelola dana pesangon tenaga kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
·         Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pengsiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensin secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undang dibidang dana pensiun oleh dana pensiun pemberi kerja tau dana pesiun lembaga keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
·         Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
·         Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang telah ditentukan.

2.1.Sifat Pemotongan PPh Pasal 21
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan PPh pasal 21 yang bersifat final, kecuali dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada thun ketiga dan tahun-tahun berikutnya.

2.2.Tarif PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon
Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2009, Pasal 4 menyebutkan, "Tarif (Potongan) Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon ditentukan sebagai berikut:
·         sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
·         sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
·         sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
·         sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Contoh:
Raditya bekerja sebagai pegawai tetap pada PT. CERISH sejak tahun 1990. PT. CERISH telah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT.CERISH. Pada bulan Januari 2012, Raditya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp 185.000.000,00 dari PT. CERISH.
Pehitungan:
Penghasilan Bruto       Rp 185.000.000,00
Pajak penghasilan PPh 21 terutang atas uang pesangon:
0%  x Rp 50.000.000,00         = Rp                      0
5%  x Rp 50.000.000,00         = Rp   2.500.000,00
15%x Rp 85.000.000,00         = Rp 12.750.000,00 (+)
    Total PPh dipotong                Rp 15.250.000,00
Jadi, jumlah PPh pasal 21 terutang atas uang pesangon yang dikenakan kepada tuan Raditya sebesar Rp 15.250.000,00.

III.       PPh Pasal 26.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

3.1.Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Menurut Undang-undang pajak penghasilan, yan dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalanakan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain. Dengan kata lain BUT adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang dimiliki oleh orang atau badan luar negri.
Contoh bentuk usaha tetap di antaranya :
·         Tempat kedudukan manajemen
·         Cabang perusahaan
·         Kantor perwakilan
·         Gedung kantor
·         Pabrik
·         Bengkel
·         Gudang
·         Ruang untuk promosi penjualan
·         Pertambangan dan penggalian sumber alam
·         Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
·         Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
·         Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
·         Pemeberi jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
·         Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
·         Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirakan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menganggung resiko di Indonesia; dan
·         Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewakan atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegitan usaha melalui internet

3.2.Objek pajak BUT
1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikusai.
2.      Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia.
3.      Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diteriman atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif Antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
4.      Biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud nomor 2 dan 3 boleh dikurangkan dari penghasilan BUT.

3.3.Kewajiban pajak BUT
Walaupun BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun kewajiban perpajakan BUT hamper sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. Suatu BUT berkewajiban untuk ber-NPWP. Apabila Undang-undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun di antaranya tetap memiliki perbedaan, berikut perbedaan mendasar dalam perlakuan PPh Antara Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT :
1.      Sumber penghasilan But yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.
2.      Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek pajak BUT dan biaya yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur dalam pasal 5 UU PPh.
3.      Adanya kewajiban khusus pemotong PPh pasal 26 atas Penghasila Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (4) UU PPh.

3.4.Penghasilan BUT
1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT sendiri).
2.      Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/ dilakukan oleh BUT di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
3.      Penghasilan berupa Dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa (imbalan lainnya sehubungang dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan , pensiunan/pembayaran berkala linnnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efketif Antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

3.5.Biaya-biaya BUT
Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangi  adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada badan yang menjadi Subjek Dalam Negeri sebagaimana pasal 6 ayat 1 UU PPh.
Selain itu terdapat pula pembayaran dari BUT kepada kantor pusat yang dapat dikurangi dalam menghitung laba yaitu :
§  Royalty ata imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta paten atau hak-hak lainnya.
§  Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen atau jasa lainnya.
§  Bunga, terkecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha/kegiatan BUT ( KEP – 62/PJ./1995 ) , yaitu :
1.      Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan dan dalam rangka menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan.
2.      Maksimum sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap seluruh perdaran usaha perusahaan siseluruh dunia.
3.      But di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat tersebut di atas wajib melampirkan dalam SPT-nya Laporan Keungan Konsolidasi yang meliputi seluruh usaha/kegiatan diseluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan.
4.      Laporan Keuangan Konsolidasi tersebut haru telah diaudit oleh Akuntan Publik dan besarnya biaya administrasi yang dibenbankan pada masing-masing BUT di Negera tempat BUT tersebut berada.

3.6.Penentuan besarnya laba BUT
Dalam penentuan besarnya laba BUT terdapat beberapa ketentuan Antara lain :
1.      Biaya administrasi antor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan usaha tetap yang besarnya ditentukan oleh DJP
2.      Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya adlah :
a.       Royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak lainnya.
b.      Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c.       Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
3.      Pembayaran sebagaimana disebut nomor 2 yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tdak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan denga usaha perbankan.

Contoh
Coca cola  Indonesia membayarkan Royalti kepada PT. Coca cola yang ada di USA atas licency yang diberikan sebesar Rp 3.000.000.000. Berapa PPh dipotong atas royalty tersebut?
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x 3.000.000.000= Rp 600.000.000

Sumber :
Widyaningsih, Aristanti. 2011. Hukum Pajak dan Perpajakan. Bandung: Alfabeta.
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. 2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta: Andi.

http://www.pajak.go.id


Penyusun :
Neli Triastuti (1500820)
Tri yuliningsih (1504130)
Giza Agista Kurnia (1504090)
Bagus Sajiwo (1506981)

Bandung, 17 Desember 2016 (Mhyn/A)

About Unknown

Hai kami adalah Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2015. Ingin tau keseharian kami?, kepoin Instagram kami aja yah :)

8 komentar:

  1. Mantap, terima kasih kawan kawan materi nya.. :)

    BalasHapus
  2. Mantap, terima kasih kawan kawan materi nya.. :)

    BalasHapus
  3. postingan ini sangat membantu untuk lebih paham tentang materi PPh Ps 21 & 26 :D

    BalasHapus
  4. Mantaaap:) contoh soalnya mungkin bisa lebih banyak lagi hehehe

    BalasHapus