I.
PPH
PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BUKAN PEGAWAI
1.1.Pengertian penerimaan
penghasilan bukan pegawai
Penerima
penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi atau seseorang yang bukan
merupakan Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap atau dapat disebut dengan
Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan atau imbalan berupa honorarium,
komisi, fee dan imbalan sejenisnya dari pekerjaannya, jasa atau kegiatan,
antara lain meliputi:
1. Tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Bukan
tenaga ahli antara lain:
a. Pemain
musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
b. Olahragawan
c. Penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
d. Pengarang,
peneliti, dan penerjemah;
e. Pemberi
jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa
kepada suatu kepanitiaan;
f. Agen
iklan;
g. Pengawas
atau pengelola proyek;
h. Pembawa
pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
i.
Petugas penjaja barang
dagangan;
j.
Petugas dinas luar
asuransi;
k. Distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
1.2.Pemotongan PPh pasal 21 bukan pegawai
- pemotongan
pph pasal 21 untuk tenaga ahli
Definisi Tenaga Ahli
Dalam PPh Pasal 21, yang dimaksud dengan tenaga
ahli adalah tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas artinya orang pribadi
atau seseorang yang mempunyai keahlian khusus dijadikan sebagai usahanya untuk
menerima penghasilan yang tidak terikat
oleh suatu hubungan kerja, terdiri dari : pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
1.3.Perhitungan tarif PPh 21
Pada perhitungan pajak pasal 21
untuk tenaga ahli baik berkesinambungan maupun tidak sama-sama tidak
menggunakan PTKP. Besarnya pajak terutang pph pasal 21 Perhitungan pajaknya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.4.Pemotongan PPh Pasal 21
bagi bukan tenaga ahli
Pemotongan PPh Pasal 21 bagi bukan
tenaga ahli terbagi menjadi 2 bagian, yakni :
a. PPh
Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai atas imbalan yang
bersifat berkesinambungan.
Maksud
dari imbalan kepada bukan pegawai yang sifatnya berkesinambungan adalah imbalan
yang dibayarkan kepada bukan pegawai lebih dari satu kali dalam waktu satu
tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
Tarif pemotongannya yaitu :
·
Bagi yang memenuhi persyaratan
pengurangan PTKP (Pasal 16 ayat (1) huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd
PER-57/PJ/2009)
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam
satu tahun kalender dari Penghasilan Kena Pajak sebesar 50% (lima puluh persen)
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
·
Bagi yang tidak memenuhi persyaratan
pengurangan PTKP (Pasal 16 ayat (1) huruf b, PER-31/PJ/2009 stdd
PER-57/PJ/2009)
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam
satu tahun kalender dari 50% (lima puluh persen) jumlah penghasilan bruto untuk
setiap pembayaran imbalan.
1.5.Persyaratan
pengurangan PTKP (Pasal 12, 252/PMK.03/2008)
a. Telah
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari
hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya;
b. Harus
menyerahkan foto kopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin
harus menyerahkan foto kopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi
surat nikah dan kartu keluarga.
Penghasilan
Bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik dirumah sakit dan/atau
klinik (Pasal 10 ayat (6), PER-31/PJ/2009)
Dalam
hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah
sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau
klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik.
Mempekerjakan
orang lain sebagai pegawai ( Pasal 10 ayat (5) huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd
PER-57/PJ/2009)
Besarnya
jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali
apabila dalam kontrak /perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah
dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto
tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
Melakukan
penyerahan material atau barang (Pasal 10 ayat (5) huruf b, PER-31/PJ/2009 stdd
PER-57/PJ/2009)
Besarnya
jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan
material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk
pemberian jasa dan material atau barang.
Penghitungan
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai lainnya yang
menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan.
Contoh : Winne adalah seorang ibu rumah
tangga yang mempunyai 2 orang anak, bekerja sebagai distributor MLM pada PT
Golden Chain, suami Winne telah terdaftar sebagai WP dan mempunyai NPWP, dan
yang bersangkutan bekerja pada PT. Pelangi Antar Nusa. Winne telah menyampaikan
fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga
kepada pemotong pajak. Winne hanya memperoleh penghasilan dari kegiantannya
sebagai distributor MLM, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang
menerangkan hal tersebut kepada PT. Golden Chain. Dalam semester pertama tahun
2009, penghasilan yang diterima oleh Winne sebagai distributor MLM dari
perusahaan tersebut adalah sebagai berikut :
Januari 2009 Rp 20.000.000,00
Februari 2009 Rp 17.000.000,00
Maret 2009 Rp 23.000.000,00
April 2009 Rp 15.000.000,00
Mei 2009 Rp 25.000.000,00
Juni 2009 Rp 10.000.000,00
Jumlah Rp 110.000.000,00
Penghitungan
PPh Pasal 21 Untuk bulan Januari s.d Juni 2009 adalah sebagai berikut :
Bulan
|
Penghasilan
Bruto
|
PTKP
sebulan
|
PKP
sebulan
|
PKP
Kumulatif
|
Tarif
Pasal 17 UU PPh
|
PPh
Pasal 21 terutang
|
[1]
|
[2]
|
[3]
|
[4]
|
[5]
|
[6]
|
[7]
|
Jan
|
Rp 20,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 18,680,000.00
|
Rp 18,680,000.00
|
5%
|
Rp 934,000.00
|
Feb
|
Rp 17,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 15,680,000.00
|
Rp 34,360,000.00
|
5%
|
Rp 784,000.00
|
Maret
|
Rp 23,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 15,640,000.00
|
Rp 50,000,000.00
|
5%
|
Rp 782,000.00
|
Rp 6,040,000.00
|
Rp 56,040,000.00
|
15%
|
Rp 906,000.00
|
|||
April
|
Rp 15,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 13,680,000.00
|
Rp 69,720,000.00
|
15%
|
Rp 2,052,000.00
|
Mei
|
Rp 25,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 23,680,000.00
|
Rp 93,400,000.00
|
15%
|
Rp 3,552,000.00
|
Juni
|
Rp 10,000,000.00
|
Rp 1,320,000.00
|
Rp 8,680,000.00
|
Rp 102,080,000.00
|
15%
|
Rp 1,302,000.00
|
Jumlah
|
Rp 110,000,000.00
|
Rp 7,920,000.00
|
Rp 102,080,000.00
|
Rp 102,080,000.00
|
Rp 10,312,000.00
|
apabila Winne tidak dapat
menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu
keluarga dan Winne sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21
dilakukan sebagaimana contoh diatas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP
setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120%
berdasarkan perhitungan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Bulan
|
Penghasilan Bruto
(Rupiah)
|
Penghasilan Bruto
Kumulatif (Rupiah)
|
Tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh
|
Tidak memiliki NPWP
|
PPh Pasal 21 Terutang
(Rupiah)
|
[1]
|
[2]
|
[3]
|
[4]
|
[5]
|
[6]=[2]x[4]x[5]
|
Jan
|
Rp 20,000,000.00
|
Rp 20,000,000.00
|
5%
|
120%
|
Rp 1,200,000.00
|
Feb
|
Rp 17,000,000.00
|
Rp 37,000,000.00
|
5%
|
120%
|
Rp 1,020,000.00
|
Maret
|
Rp 13,000,000.00
|
Rp 50,000,000.00
|
5%
|
120%
|
Rp 780,000.00
|
Rp 10,000,000.00
|
Rp 60,000,000.00
|
15%
|
120%
|
Rp 1,800,000.00
|
|
April
|
Rp 15,000,000.00
|
Rp 75,000,000.00
|
15%
|
120%
|
Rp 2,700,000.00
|
Mei
|
Rp 25,000,000.00
|
Rp 100,000,000.00
|
15%
|
120%
|
Rp 4,500,000.00
|
Juni
|
Rp 10,000,000.00
|
Rp 110,000,000.00
|
15%
|
120%
|
Rp 1,800,000.00
|
Jumlah
|
Rp 110,000,000.00
|
Rp 110,000,000.00
|
Rp 13,800,000.00
|
Dalam hal suami
Winne atau Winne sendiri telah memiliki NPWP, Namun Winne mempunyai penghasilan
lain diluar kegiatannya sebagai distributor MLM, maka perhitungan PPh Pasal 21
terutang adalah sebagaimana contoh diatas , namun tidak dikenakan tariff 20%
lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.
PPh
Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak
Bersifat Berkesinambungan
Pajak ini
dikenakan berlaku bagi WP Pribadi yang mendapat imbalan namun bukan
pegawai dengan karakteristik dibayar
atau terutang satu kali dalam satu tahun kalender.
Memperkerjakan
orang lain sebagai pegawai (pasal 10 ayat 5 huruf a, PER-31/PJ/2009)
Besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan
bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjaan tersebut, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut
adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
Melakukan
penyerahan material atau barang (pasal 10 ayat 5 huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak atau dalam pejanjian tidak dapat dipasahkan antara pemberian jasa
dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk
pemberian jasa dan material atau barang.
Tarif
pemotongan (pasal 16 ayat 2 huruf a, PER-31/PJ/2009 stdd PER-57/PJ/2009)
Tarif
berdasarkan pasal 17 ayat 1 huruf a undang-undang pajak penghasila diterapkan
atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran imbalan.
Contoh 2:
Daffa Mulyadis melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT
ASSAS dengan fee sebesar Rp 10.000.000,00. Daffa Sarria menggunakan tenaga 3
orang pekerja dengan membayar upah harian masing-masing Rp 150.000,00, upah
harian yang dibayarkan untuk 3 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp
3.000.000,00. Selain itu Daffa membeli monitor komputer yang dipakai untuk
perbaikan sebesar Rp 500.000,00.
Perhitungan :
Pendapatan yang terkena potongan
PPh pasal 21 adalah
Rp 10.000.000,00 – Rp 3.000.000,00
– Rp 500.000,00 = Rp 6.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang
terutang adalah:
5% x 50% X Rp 6.500.000,00 = Rp 162.500,00
Dalam hal Daffa Mulyadi tidak
memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
120% x 5% x 50% Rp 6.500.000,00 =
Rp 195.000,00
II.
PPh
Pasal 21 Final
PPh pasal 21
final dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa :
·
Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk pengelola dana pesangon tenaga kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
·
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pengsiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensin
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undang dibidang dana
pensiun oleh dana pensiun pemberi kerja tau dana pesiun lembaga keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
·
Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
·
Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang
dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang telah ditentukan.
2.1.Sifat
Pemotongan PPh Pasal 21
Atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus
dikenai pemotongan PPh pasal 21 yang bersifat final, kecuali dalam hal terdapat
bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada thun ketiga dan
tahun-tahun berikutnya.
2.2.Tarif
PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon
Peraturan
Pemerintah No. 68 tahun 2009, Pasal 4 menyebutkan, "Tarif (Potongan) Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon ditentukan sebagai
berikut:
·
sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan
bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
·
sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah sampai dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
·
sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
·
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Contoh:
Raditya bekerja sebagai pegawai
tetap pada PT. CERISH sejak tahun 1990. PT. CERISH telah mengikutkan program
pensiun untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT.CERISH. Pada
bulan Januari 2012, Raditya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima
pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp 185.000.000,00 dari PT. CERISH.
Pehitungan:
Penghasilan Bruto Rp 185.000.000,00
Pajak penghasilan PPh 21 terutang
atas uang pesangon:
0%
x Rp 50.000.000,00 =
Rp 0
5%
x Rp 50.000.000,00 =
Rp 2.500.000,00
15%x Rp 85.000.000,00 = Rp 12.750.000,00 (+)
Total PPh dipotong Rp 15.250.000,00
Jadi, jumlah PPh pasal 21 terutang
atas uang pesangon yang dikenakan kepada tuan Raditya sebesar Rp 15.250.000,00.
III.
PPh
Pasal 26.
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)
luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan.
3.1.Pengertian
Bentuk Usaha Tetap
Menurut
Undang-undang pajak penghasilan, yan dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, untuk menjalanakan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain. Dengan kata lain BUT
adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang dimiliki oleh orang atau badan
luar negri.
Contoh bentuk usaha tetap di
antaranya :
·
Tempat kedudukan manajemen
·
Cabang perusahaan
·
Kantor perwakilan
·
Gedung kantor
·
Pabrik
·
Bengkel
·
Gudang
·
Ruang untuk promosi penjualan
·
Pertambangan dan penggalian sumber alam
·
Wilayah kerja pertambangan minyak dan
gas bumi
·
Perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, atau kehutanan
·
Proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan
·
Pemeberi jasa dalam bentuk apapun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka
waktu 12 bulan
·
Orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas
·
Agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirakan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menganggung resiko di Indonesia; dan
·
Komputer, agen elektronik, atau
peralatan otomatis yang dimiliki, disewakan atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan kegitan usaha melalui internet
3.2.Objek
pajak BUT
1. Penghasilan
dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikusai.
2. Penghasilan
kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia.
3. Penghasilan
sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diteriman atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif Antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
4. Biaya
yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud nomor 2 dan 3 boleh
dikurangkan dari penghasilan BUT.
3.3.Kewajiban
pajak BUT
Walaupun BUT
termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun kewajiban perpajakan BUT hamper sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. Suatu BUT berkewajiban untuk ber-NPWP. Apabila
Undang-undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP).
Namun di antaranya tetap memiliki
perbedaan, berikut perbedaan mendasar dalam perlakuan PPh Antara Wajib Pajak
Dalam Negeri dan BUT :
1. Sumber
penghasilan But yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari Indonesia saja
karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.
2. Adanya
perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek pajak BUT dan biaya
yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur dalam pasal 5 UU PPh.
3. Adanya
kewajiban khusus pemotong PPh pasal 26 atas Penghasila Kena Pajak setelah
dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (4) UU PPh.
3.4.Penghasilan
BUT
1. Penghasilan
dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT sendiri).
2. Penghasilan
kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/ dilakukan oleh BUT di
Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di
Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat
dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
3. Penghasilan
berupa Dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang, royalty, sewa (imbalan lainnya sehubungang dengan
penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan),
hadiah/penghargaan , pensiunan/pembayaran berkala linnnya, yang diterima oleh
kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat
hubungan efketif Antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.
3.5.Biaya-biaya
BUT
Pada prinsipnya
biaya yang dapat dikurangi adalah biaya
yang dapat pula dikurangkan pada badan yang menjadi Subjek Dalam Negeri
sebagaimana pasal 6 ayat 1 UU PPh.
Selain itu terdapat pula pembayaran
dari BUT kepada kantor pusat yang dapat dikurangi dalam menghitung laba yaitu :
§ Royalty
ata imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta paten atau hak-hak
lainnya.
§ Imbalan
sehubungan dengan jasa manajemen atau jasa lainnya.
§ Bunga,
terkecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Biaya administrasi Kantor Pusat
yang berkaitan dengan usaha/kegiatan BUT (
KEP – 62/PJ./1995 ) ,
yaitu :
1. Biaya
administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan dan dalam rangka menunjang
usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan.
2. Maksimum
sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap seluruh
perdaran usaha perusahaan siseluruh dunia.
3. But
di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat tersebut di atas
wajib melampirkan dalam SPT-nya Laporan Keungan Konsolidasi yang meliputi
seluruh usaha/kegiatan diseluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan.
4. Laporan
Keuangan Konsolidasi tersebut haru telah diaudit oleh Akuntan Publik dan
besarnya biaya administrasi yang dibenbankan pada masing-masing BUT di Negera
tempat BUT tersebut berada.
3.6.Penentuan
besarnya laba BUT
Dalam penentuan besarnya laba BUT
terdapat beberapa ketentuan Antara lain :
1. Biaya
administrasi antor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan usaha tetap yang besarnya ditentukan oleh
DJP
2. Pembayaran
kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya
adlah :
a. Royalty
atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak
lainnya.
b. Imbalan
sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. Bunga,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
3. Pembayaran
sebagaimana disebut nomor 2 yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tdak
dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan denga usaha
perbankan.
Contoh
Coca cola Indonesia membayarkan Royalti kepada PT. Coca
cola yang ada di USA atas licency yang diberikan sebesar Rp 3.000.000.000.
Berapa PPh dipotong atas royalty tersebut?
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x 3.000.000.000= Rp 600.000.000
Sumber :
Widyaningsih, Aristanti. 2011. Hukum Pajak dan Perpajakan. Bandung:
Alfabeta.
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak.
2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta:
Andi.
http://www.pajak.go.id
Penyusun :
Neli
Triastuti (1500820)
Tri
yuliningsih (1504130)
Giza Agista
Kurnia (1504090)
Bagus Sajiwo (1506981)
Bandung, 17 Desember 2016 (Mhyn/A)
Bandung, 17 Desember 2016 (Mhyn/A)
About Unknown
Hai kami adalah Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2015. Ingin tau keseharian kami?, kepoin Instagram kami aja yah :)
Mantap, terima kasih kawan kawan materi nya.. :)
BalasHapusMantap, terima kasih kawan kawan materi nya.. :)
BalasHapusMakasih temen-temen😉😉
BalasHapusMantipss lanjutkan
BalasHapuspostingan ini sangat membantu untuk lebih paham tentang materi PPh Ps 21 & 26 :D
BalasHapusMantaaap:) contoh soalnya mungkin bisa lebih banyak lagi hehehe
BalasHapusmaterinya membantu saya:)
BalasHapusTerimakasih, sangat membantu :)
BalasHapus